Cakkavatti Sihanada Sutta-Buddhism and politics
Please watch:
https://www.youtube.com/watch?v=mQYjy2jfSfk
Sariputta Sihanada Sutta - Dhamma Talk at Los Angeles Buddhist Vihara, Pasadena, California
https://www.youtube.com/watch?v=vWjDqd8ueSc
Chakravarthi
SinhaNada Sutta චක්රවර්ති සිංහනාද සූත්රය +122 Most Venerable
Nauyane Ariyadhamma Maha Thero - අතීපුජනීය නා උයනේ අරියධම්ම ස්වාමීන්
වහන්සේ
පටිසෝතගාමී පටිපදා | Patisothagami Patipada
http://www.youtube.com/c/patisothagami
https://www.facebook.com/Patisothagam… or
https://www.facebook.com/Patis0thagami
http://www.twitter.com/patisothagami
http://www.plus.google.com/+patisotha…
nauyane ariyadhamma mahathera nauyane ariyadhamma thero bana nauyane ariyadhamma himi bana na uyane ariyadhamma thero
ven
na uyane ariyadhamma thero ven na uyane ariyadhamma maha thero nauyane
ariyadhamma thero dharma deshana nauyane ariyadhamma swaminwahanse
nauyane ariyadhamma maha thero 2015 නා උයනේ අරියධම්ම,පූජ්ය නා උයනේ
අරියධම්ම හිමි,Ven Nauyane Ariyadhamma Maha Thero, අතීපුජනීය නා උයනේ
අරියධම්ම ස්වාමීන් වහන්සේගේ, ධර්ම දේශනා,නා උයනේ අරියධම්ම නාහිමි අති
පූජ්ය නා උයනේ අරියධම්ම නාහිමි,නා උයනේ අරියධම්ම මහා නා හිමි,නා උයනේ
අරියධම් නා උයනේ අරියධම්ම මහා නා හිමි nauyane ariyadhamma maha thero
2015 nauyane ariyadhamma thero books පූජ්ය නා උයනේ අරියධම්ම හිමි ( Ven
Nauyane Ariyadhamma Maha Thero අති පූජනීය නා උයනේ අරියධම්ම මහිමිපානන්
අතීපුජනීය නා උයනේ අරියධම්ම ස්වාමීන් වහන්සේගේ ධර්ම දේශනා . නා උයනේ
අරියධම්ම නාහිමි අති පූජ්ය නා උයනේ අරියධම්ම නාහිමි නා උයනේ අරියධම්ම මහා
නා හිමි නා උයනේ අරියධම්
Nauyane Ariyadhamma,Nauyane Ariyadhamma Maha
Thero 2015,ven nauyane ariyadhamma thero,most ven nauyane ariyadhamma
theronauyane ariyadhamma himi,na uyane ariyadhamma maha thero,nauyane
ariyadhamma thero pirith,අති,පූජ්ය,නා උයනේ,අරියධම්ම,නාහිමි,නා උයනේ
අරියධම්ම Nauyane Ariyadhamma Maha Thero 2015 Niwanata Maga නිවනට මඟ -
අති පූජ්ය නා උයනේ අරියධම්ම නාහිමි
ven nauyane ariyadhamma thero most
ven nauyane ariyadhamma thero nauyane ariyadhamma himi na uyane
ariyadhamma maha thero nauyane ariyadhamma thero pirith Niwanata Maga -
නිවනට මඟ - Most Ven Nauyane Ariyadhamma Maha Thero - අති පූජ්ය නා උයනේ
අරියධම්ම මහා හිමිපාණන් වහන්සේ මහා කම්මට්ඨානාචාර්ය, ත්රිපිඨකාචාර්ය අති
පූජ්ය නා උයනේ අරියධම්ම මහා නහිමිපාණන් වහන්සේ විසින් මෙහෙයවන ලද ධර්ම
දේශනා Maha Kammattanacharya,Tripitakacharya Most Venerable Nauyane
Ariyadhamma Maha Thero
nauyane ariyadhamma thero dharma deshana Ven
Nauyane ariyadhamma thero,nauyane ariyadhamma mahathera,nauyane
ariyadhamma thero bana,nauyane ariyadhamma himi | Niwan Magata - නිවනට
මඟට - Most Ven Nauyane Ariyadhamma Maha Thero - අති පූජ්ය නා උයනේ
අරියධම්ම මහා හිමිපාණන් වහන්සේ
nauyane ariyadhamma thero dharma deshana
මහා කම්මට්ඨානාචාර්ය, ත්රිපිඨකාචාර්ය අති පූජ්ය නා උයනේ අරියධම්ම මහා නහිමිපාණන් වහන්සේ විසින් මෙහෙයවන ලද ධර්ම දේශනා
Maha Kammattanacharya,Tripitakacharya Most Venerable Nauyane Ariyadhamma Maha Thero
›› Patisothagami Patipada පටිසෝතගාමී පටිපදා
-» http://www.youtube.com/patisothagami
-» https://www.facebook.com/Patisothagam…
-» http://www.twitter.com/patisothagami
-» http://www.plus.google.com/+patisotha… #sinhala #Patisothagami #Patipada #පටිසෝතගාමී #පටිපදා
#sinhala #darma desana #dharma deshana #nivan
magata # ariya gnana himi gihigeyin nivan magata # gihigeyin niwan
magata # Maha Rahathun Wadimaga Osse Darma Discussion Maha Rahathun
Wedimaga Osse ධර්මසාකච්චා Buddhaghosha,sadaham arana,Siri Sadaham
Ashramaya,the buddhist tv,shraddha tv
https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/cakkavatti-sihanada-sutta/
Sumber : Sutta Pitaka Digha Nikaya V
Oleh : Lembaga Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Penerbit : CV. Danau Batur – Jakarta, 1992
Demikian yang telah kami dengar:
Para bhikkhu, tetapi bagaimanakah seorang bhikkhu menjadi pelita
bagi dirinya sendiri, sebagai pelindung bagi dirinya
sendiri dan tidak berlindung pada yang lain?
Bagaimana ia hidup dalam dhamma yang sebagai pelita
bagi dirinya dan tidak berlindung pada yang lain?
Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu mengamati tubuh
(kaya) sebagai tubuh dengan rajin, penuh pengertian dan
perhatian, melenyapkan keserakahan dan
ketidaksenangan dalam dunia. Seorang bhikkhu
mengamati perasaan (vedana)… mengamati kesadaran (citta)…
dan mengamati ide-ide (dhamma) sebagai dhamma dengan rajin,
penuh pengertian dan perhatian, melenyapkan keserakahan dan
ketidaksenangan dalam dunia.
Para bhikkhu, beginilah seorang bhikkhu menjadikan dirinya sebagai
pelita bagi dirinya sendiri, menjadikan dirinya sebagai
pelindung bagi dirinya sendiri dan tidak berlindung
pada hal yang lain. Ia menjadikan dhamma sebagai
pelita bagi dirinya sendiri, ia menjadikan dhamma
sebagai pelindung bagi dirinya sendiri dan tidak
berlindung pada yang lain.
Para bhikkhu, jalanlah di lingkunganmu (gocara) sendiri, yang
pernah dijalani oleh para pendahulumu. Jikalau kamu sekalian
berjalan di tempat itu maka Mara tidak akan mendapat
tempat untuk ditempati dan tidak ada tempat untuk
dihancurkan. Sesungguhnya dengan mengembangkan
kebaikan maka jasa-jasa bertambah-tambah.
Setelah banyak tahun, ratusan tahun dan ribuan tahun, orang
itu melihat bahwa Cakka ratana surgawi telah terbenam sedikit
dan telah bergeser sedikit dari tempatnya. Setelah ia
melihat kejadian ini, ia pergi menghadap Raja
Dalhanemi dan melapor: ‘Maharaja, ketahuilah bahwa
Cakka ratana surgawi telah terbenam sedikit dan telah
bergeser sedikit dari tempatnya.’
Para bhikkhu, Raja Dalhanemi memanggil putra yang tertua dan berkata:
‘Anakku, dengarkanlah, Cakka ratana surgawi telah terbenam sedikit
dan telah bergeser sedikit dari tempatnya. Juga telah
diberitahukan kepadaku: ‘Bilamana Cakka ratana
surgawi dari maharaja dunia (cakkavatti) terbenam dan
bergeser dari tempatnya, maka raja itu tidak akan
hidup lama lagi’. Saya telah menikmati kenikmatan
duniawi. Anakku, pimpinlah dunia ini sampai di batas lautan.
Karena saya akan mencukur rambut serta janggutku, mengenakan
jubah kuning, meninggalkan kehidupan duniawi untuk
menjadi pertapa.’
Para bhikkhu, demikianlah setelah Raja Dalhanemi menyerahkan
tahta kerajaan kepada putranya, ia mencukur rambut serta
janggutnya, mengenakan jubah kuning, meninggalkan
kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Para hari
ketujuh Cakka ratana surgawi lenyap.
Para bhikkhu, ketika raja mendengar kabar itu, ia menjadi sedih
dan berduka cita. Lalu ia pergi menemui pertapa raja dan
berkata: ‘Tuanku, demi kebenaran, ketahuilah bahwa
Cakka ratana surgawi telah lenyap.’
Setelah raja berkata demikian, pertapa raja menjawab: ‘Anakku,
janganlah bersedih dan berduka cita karena tidak ada
hubungan keluarga antara kau dan Cakka ratana
surgawi. Tetapi anakku, putarlah roda kewajiban
maharaja yang suci. Karena bila kau memutarkan roda
kewajiban maharaja yang suci dan pada hari uposatha
di bulan purnama kau membasuh kepalamu serta melaksanakan uposatha
di teras utama pada tingkat atas istana, maka Cakka ratana
surgawi akan muncul lengkap dengan seribu ruji, roda
dan as serta bagian-bagian lain.’
‘Baiklah, tuanku,’ jawab raja. Ia patuh melaksanakan roda kewajiban
maharaja yang suci. Pada hari uposatha raja membasuh
kepalanya dan melaksanakan uposatha di teras utama
pada tingkat atas istana. Kemudian Cakka ratana
surgawi muncul lengkap dengan seribu ruji, roda, as
serta bagian-bagian yang lain. Ketika raja melihat
kejadian ini ia berpikir: ‘Telah diberitahukan kepadaku bahwa
raja yang melihat Cakka ratana surgawi yang muncul, maka ia
menjadi Cakkavatti (maharaja dunia). Semoga saya menjadi
penguasa dunia!’
Setelah banyak tahun, setelah ratusan tahun, dan setelah ribuan
tahun, orang itu melihat bahwa Cakka ratana telah terbenam
sedikit dan telah bergeser sedikit dari tempatnya.
Ketika melihat kejadian ini, ia pergi menghadap raja
Cakkavatti dan melaporkan apa yang telah dilihatnya.
Para bhikkhu, raja cakkavatti memanggil putranya yang tertua
dan berkata: ‘Anakku, dengarkanlah, Cakka ratana surgawi
telah terbenam sedikit dan telah bergeser sedikit
dari tempatnya. Juga telah diberitahukan kepadaku:
‘Bilamana Cakka ratana surgawi telah terbenam dan
bergeser dari tempatnya maka raja Cakkavatti tidak
akan hidup lama lagi’. Saya telah menikmati kenikmatan
duniawi, tibalah saatnya bagiku untuk mencari kebahagiaan surgawi.
Anakku, pimpinlah dunia ini yang sampai di batas lautan.
Karena saya akan mencukur rambut serta janggutku,
mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan
duniawi untuk menjadi pertapa.’
Demikianlah setelah raja Cakkavatti menyerahkan tahta kerajaan
kepada putranya, ia mencukur rambut dan janggutnya,
mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan
duniawi dan menjadi pertapa. Pada hari ketujuh
setelah raja menjadi pertapa, Cakka ratana surgawi
lenyap.
Lalu raja bertanya sebagai berikut kepada orang itu: ‘Apakah
benar bahwa kau telah mengambil barang yang tak diberikan
kepadamu, dan dengan demikian kamu telah melakukan
perbuatan yang disebut mencuri?’
‘Benar, raja.’
‘Mengapa kau melakukannya?’
‘Raja, saya tak memiliki sesuatu untuk mempertahankan hidupku.’
Kemudian raja memberikan dana kepada orang itu dengan berkata:
‘Dengan dana ini kau dapat menyambung hidupmu,
peliharalah orang tuamu, anak-anakmu dan istrimu.
Kerjakanlah pekerjaanmu dan berdanalah selalu kepada para
samana dan pertapa, karena perbuatan ini berpahala untuk
terlahir kembali di alam surga.’
‘Baiklah, raja,’ jawab orang itu.
‘Saya mencuri sebab tak dapat mempertahankan hidupku.’
Namun raja berpikir: ‘Jika saya memberikan dana kepada siapa
setiap orang yang mencuri maka pencuri akan bertambah banyak.
Saya harus menghentikan perbuatan ini, ia harus
diganjar dengan hukuman berat, yaitu kepalanya
dipancung.’ Selanjutnya raja memerintah bawahannya
dengan berkata:
‘Perhatikanlah, ikatlah tangan orang ini ke belakang tubuhnya
dan ikatlah dengan kencang. Gunduli kepalanya dan bawalah dia
berkeliling disertai genderang yang nyaring ke
jalan-jalan, ke persimpangan-persimpangan jalan.
Bawalah dia keluar melalui gerbang selatan dan
berhentilah di selatan kota. Ganjarlah dia dengan
hukuman terberat berat, yaitu kepalanya dipancung.’
‘Baiklah, raja,’ jawab orang-orang itu dan mereka melaksanakan perintah itu.
Raja bertanya kepada orang itu: ‘Apakah benar bahwa kau telah mencuri?’
‘Tidak, raja,’ jawabnya. Dengan jawaban ini orang itu telah berdusta dengan sengaja.
Di antara orang-orang yang batas usia kehidupan mereka 2.500
tahun, iri hati dan dendam berkembang. Karena ke dua hal ini
berkembang maka batas usia kehidupan dan kecantikan
manusia berkurang, sehingga batas usia kehidupan
manusia pada masa itu adalah 2.500 tahun 2.000 tahun,
akan tetapi batas usia kehidupan anak-anak mereka
hanya 1.000 tahun.
Di antara orang-orang yang batas usia kehidupan mereka 1.000 tahun,
pandangan sesat (miccha ditthi) muncul dan berkembang.
Karena pandangan sesat ini berkembang maka batas usia
kehidupan dan kecantikan manusia berkurang, sehingga
batas usia kehidupan dan kecantikan pada masa itu adalah
1.000 tahun, akan tetapi anak-anak mereka hanya 500 tahun.
Di antara orang-orang yang batas usia kehidupan mereka 500 tahun,
ada tiga hal yang berkembang, yaitu: berzinah dengan
saudara sendiri, keserakahan dan pemuasan nafsu.
Karena tiga hal ini berkembang maka batas usia
kehidupan dan kecantikan manusia berkurang, sehingga
batas usia kehidupan manusia pada masa itu adalah 500
tahun, akan tetapi batas usia kehidupan anak-anak
mereka ada yang 250 tahun dan ada yang hanya 200 tahun.
Di antara orang-orang yang batas usia kehidupan mereka 250 tahun,
hal sebagai berikut ini berkembang — kurang berbakti
kepada orang tua, kurang hormat kepada para samana
dan pertapa dan kurang patuh kepada pemimpin
masyarakat.
Para bhikkhu, pada orang-orang itu akan muncul keinginan-keinginan
sebagai berikut : ‘Karena kita melakukan cara-cara yang
jahat, maka kita kehilangan banyak sanak saudara.
Marilah kita berbuat kebajikan-kebajikan. Sekarang,
kebajikan apakah yang dapat kita lakukan? Marilah
kita berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan. Itu
merupakan perbuatan baik yang dapat kita lakukan.’ Mereka
akan berusaha untuk tidak membunuh, hal yang baik ini mereka
laksanakan terus. Karena melaksanakan kebajikan ini maka
akibatnya batas usia kehidupan dan kecantikan mereka
bertambah. Bagi mereka yang batas usia hanya 10
tahun, akan tetapi batas usia kehidupan anak-anak
mereka mencapai 20 tahun.
Para bhikkhu, dalam hal ini, seorang bhikkhu mengamati tubuh
(kaya) sebagai tubuh dengan rajin, penuh pengertian dan
perhatian, melenyapkan keserakahan dan
ketidaksenangan dalam dunia. Seorang bhikkhu
mengamati perasaan (vedana)… mengamati kesadaran (citta)…
dan mengamati ide-ide (dhamma) sebagai dhamma dengan rajin penuh
pengertian dan perhatian, melenyapkan keserakahan dan
ketidaksenangan dalam dunia.
Para bhikkhu, beginilah seorang bhikkhu menjadikan dirinya sebagai
pelita bagi dirinya sendiri, menjadikan dirinya sebagai
pelindung bagi dirinya sendiri dan tidak berlindung
pada yang lain. Ia menjadikan dhamma sebagai pelita
bagi dirinya sendiri, ia menjadikan dhamma sebagai
pelindung bagi dirinya sendiri dan tidak berlindung
pada hal yang lain.
Para bhikkhu, apakah yang dimaksud dengan kecantikan? Dalam
hal ini, seorang bhikkhu melaksanakan peraturan-peraturan
moral (sila), mengendalikan dirinya sesuai dengan
Patimokkha, sempurna dalam sikap dan tingkah laku; ia
melihat bahaya sekalipun itu hanya merupakan
kesalahan kecil dan ia menghindarkan diri dari
kesalahan itu. Ia melatih diri dengan melaksanakan sila. Inilah
yang dimaksudkan dengan kecantikan.
Para bhikkhu, apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan? Dalam
hal ini, seorang bhikkhu menjauhkan diri dari pemuasan nafsu,
bebas dari pikiran-pikiran jahat, mencapai dan tetap
berada dalam Jhana I dengan memiliki usaha untuk
menangkap obyek (vitakka), obyek dikuasai (vicara),
kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha) dan ketenangan
(viveka) batin. Dengan melenyapkan vitakka dan vicara
ia mencapai dan tetap berada dalam Jhana II dengan diliputi
kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha) dan ketenangan (viveka)
batin. Dengan melenyapkan piti ia mencapai dan tetap
berada dalam Jhana III dengan diliputi kebahagiaan
(sukha) dan ketenangan (viveka) batin. Dengan
melenyapkan sukha ia mencapai dan tetap berada dalam
Jhana IV dengan pikiran terpusat dan penuh ketenangan
batin.
Para bhikkhu, apakah yang dimaksud dengan kekayaan? Dalam hal
ini, seorang bhikkhu membiarkan batinnya diliputi oleh cinta
kasih (metta) yang dipancarkannya ke satu arah, ke
dua arah, ke tiga arah dan ke empat arah dari dunia.
Jadi dengan demikian seluruh dunia, dari atas, bawah,
sekeliling dan di seluruh penjuru dunia dipancarkan
cinta kasihnya yang tanpa batas, yang mulia, tak
terukur, yang bebas dari kebencian dan iri hati. Ia pun
membiarkan dirinya diliputi dengan kasih sayang atau welas asih
(karuna) … simpati (mudita) … dan keseimbangan batin
(upekkha) yang dipancarkannya ke satu arah, ke dua
arah, ke tiga arah dan ke empat arah dari dunia. Jadi
dengan demikian seluruh dunia dipancarkan
keseimbangan batinnya yang tanpa batas, yang mulia,
tak terukur, yang bebas dari kebencian dan iri hati. Inilah
yang dimaksud dengan kekayaan.
Para bhikkhu apakah yang dimaksud dengan kekuatan? Dalam hal
ini, seorang bhikkhu melenyapkan kekotoran batin (asava)
sehingga pada kehidupan sekarang ini ia sendiri
mencapai dan tetap berada dalam keadaan batin yang
suci dan kebijaksanaan yang suci. Inilah yang
dimaksud dengan kekuatan.
Para bhikkhu, tidak ada kekuatan lain yang sulit sekali ditaklukkan
selain kekuatan mara. Tetapi perbuatan baik (kusala)
yang dikembangkan sendiri (hingga mencapai
kearahatan) akan merupakan cara yang paling baik
untuk menaklukkannya.”
Demikianlah yang diucapkan oleh Sang Buddha. Para bhikkhu menjadi
gembira setelah mendengar uraian Sang Bhagava.
http://www.thesangaiexpress.com/buddhism-and-politics-2/
Buddhism and politics
Thangjam Sanjoo Singh
(Contd from previous issue)
In
the Cakkavatti Sihananda Sutta, the Buddha said that immorality and
crime, such as theft, falsehood, violence, hatred, cruelty, could arise
from poverty. Kings and governments may try to suppress crime through
punishment, but it is futile to eradicate crimes through force.
In
the Kutadanta Sutta, the Buddha suggested economic development instead
of force to reduce crime. The government should use the country’s
resources to improve the economic conditions of the country. It could
embark on agricultural and rural development, provide financial support
to entrepreneurs and business, and provide adequate wages for workers to
maintain a decent life with human dignity.
In the Jataka, the Buddha
had given to rules for Good Government, known as ‘Dasa Raja Dharma’.
These ten rules can be applied even today by any government which wishes
to rule the country peacefully. The rules are as follows:
a. be liberal and avoid selfishness, maintain a high moral character,
b. be prepared to sacrifice one’s own pleasure for the well-being of the subjects,
c. be honest and maintain absolute integrity,
d. be kind and gentle,
e. lead a simple life for the subjects to emulate,
f. be free from hatred of any kind, exercise non-violence, practise patience,
g. and respect public opinion to promote peace and harmony.
Regarding the behaviour of rulers, He further advised:
–
A good ruler should act impartially and should not be biased and
discriminate between one particular groups of subjects against another.
– A good ruler should not harbour any form of hatred against any of his subjects.
– A good ruler should show no fear whatsoever in the enforcement of the law, if it is justifiable.
–
A good ruler must possess a clear understanding of the law to be
enforced. It should not be enforced just because the ruler has the
authority to enforce the law. It must be done in a reasonable manner and
with common sense. — (Cakkavatti Sihananda Sutta)
In the Milinda
Panha, it is stated: ‘If a man, who is unfit, incompetent, immoral,
improper, unable and unworthy of kingship, has enthroned himself a king
or a ruler with great authority, he is subject to be tortured‚ to be
subject to a variety of punishment by the people, because, being unfit
and unworthy, he has placed himself unrighteously in the seat of
sovereignty. The ruler, like others who violate and transgress moral
codes and basic rules of all social laws of mankind, is equally subject
to punishment; and moreover, to be censured is the ruler who conducts
himself as a robber of the public.’ In a Jataka story, it is mentioned
that a ruler who punishes innocent people and does not punish the
culprit is not suitable to rule a country.
The king always improves
himself and carefully examines his own conduct in deeds, words and
thoughts, trying to discover and listen to public opinion as to whether
or not he had been guilty of any faults and mistakes in ruling the
kingdom. If it is found that he rules unrighteously, the public will
complain that they are ruined by the wicked ruler with unjust treatment,
punishment, taxation, or other oppressions including corruption of any
kind, and they will react against him in one way or another. On the
contrary, if he rules righteously they will bless him: ‘Long live His
Majesty.’ (Majjhima Nikaya)
The Buddha’s emphasis on the moral duty of a ruler to use public power
to improve the welfare of the people had inspired Emperor Asoka in the
Third Century BC to do likewise. Emperor Asoka, a sparkling example of
this principle, resolved to live according to and preach the Dhamma and
to serve his subjects and all humanity. He declared his non-aggressive
intentions to his neighbours, assuring them of his goodwill and sending
envoys to distant kings bearing his message of peace and non-aggression.
He
promoted the energetic practice of the socio-moral virtues of honesty,
truthfulness, compassion, benevolence, non-violence, considerate
behaviour towards all, non-extravagance, non-acquisitiveness, and
non-injury to animals. He encouraged religious freedom and mutual
respect for each other’s creed. He went on periodic tours preaching the
Dhamma to the rural people. He undertook works of public utility, such
as founding of hospitals for men and animals, supplying of medicine,
planting of roadside trees and groves, digging of wells, and
construction of watering sheds and rest houses. He expressly forbade
cruelty to animals.
Sometimes the Buddha is said to be a social
reformer. Among other things, He condemned the caste system, recognized
the equality of people, spoke on the need to improve socio-economic
conditions, recognized the importance of a more equitable distribution
of wealth among the rich and the poor, raised the status of women,
recommended the incorporation of humanism in government and
administration, and taught that a society should not be run by greed but
with consideration and compassion for the people. Despite all these,
His contribution to mankind is much greater because He took off at a
point which no other social reformer before or ever since had done, that
is, by going to the deepest roots of human ill which are found in the
human mind. It is only in the human mind that true reform can be
effected. Reforms imposed by force upon the external world have a very
short life because they have no roots. But those reforms which spring as
a result of the transformation of man’s inner consciousness remain
rooted. While their branches spread outwards, they draw their
nourishment from an unfailing source — the subconscious imperatives of
the life-stream itself. So reforms come about when men’s minds have
prepared the way for them, and they live as long as men revitalize them
out of their own love of truth, justice and their fellow men.
The
doctrine preached by the Buddha is not one based on ‘Political
Philosophy’. Nor is it a doctrine that encourages men to worldly
pleasures. It sets out a way to attain Nirvana. In other words, its
ultimate aim is to put an end to craving (Tanha) that keeps them in
bondage to this world. A stanza from the Dhammapada best summarizes this
statement: ‘The path that leads to worldly gain is one, and the path
that leads to Nibbana (by leading a religious life) is another.’
However,
this does not mean that Buddhists cannot or should not get involved in
the political process, which is a social reality. The lives of the
members of a society are shaped by laws and regulations, economic
arrangements allowed within a country, institutional arrangements, which
are influenced by the political arrangements of that society.
Nevertheless, if a Buddhist wishes to be involved in politics, he should
not misuse religion to gain political powers, nor is it advisable for
those who have renounced the worldly life to lead a pure, religious life
to be actively involved in politics.
(The writer is President of an NGO called Population Health Institute (PHI). He can be reached at thangjamsanjoo42@gmail.com)